D.024 Rasa Resah
Berubah
Sulit untuk tidak merindukan kita yang dulu
Waktu yang panjang mungkin menjadi satu transisi diantara kita untuk berlaku dewasa
Tapi kebersamaan kita bukan patokan untuk menjadi selamanya
Banyak ingatan yang tertumpuk menjadi satu ruang yang sulit untukku bernafas
Mencoba melupakanmu itu menjadi salah satu harapku
Menghapus jejak yang pernah ada diantara kita itu sangat perlu
Aku harus kehilanganmu untuk mencintai diriku
Pergilah
Jangan menghampiri aku hanya untuk mengukir cerita kembali
Lembaran ini telah aku usaikan
Tidak akan ada lagi sejuknya udara yang kita hirup bersama
Tidak ada lagi bara api yang akan menyala
Terimakasih dan selamat tinggal
oleh Monik Sersanada
D.025 dibaca dua2
duka lara hati ayam peternak tua sepertinya sekarang lupa terus semakin baik tutur katanya ada tidak tidur siang hari ini adalah sebuah serangga kecil sekali kali pinggiran rumah tangga jalan kaki tangan terikat laju motor harley queen elizabeth taylor swift action against the machinic desire to help us dollar naik sampan hitam putih kapas wajah yang dijual alfa beta version release album band tujuhbelasan korban pencurian permata bank desa suka mandi hujan asam lambung monster gua nggak tahu goreng kering kantong celana panjang umur nenek lampir dokumen pekerjaan haram hukumnya setahun dengan ketakutan selalu maju bersama luka dara.
oleh Anon
D.026 Tahun yang Buruk bagi Pencinta
Wabah berbahaya memakan ratusan kepala dan memamah jantung ibu kota jadi gabah. Keluar rumah dianggap anak setan. Setiap orang mengunci jiwanya rapat-rapat di rumah. Bajingan! Ini tahun buruk bagi pencinta. Juga bagi Efka dan Sunya yang baru pacaran tiga hari. "Kita tuh semestinya menyewa satu kamar lembap di Blok M dan bercinta hingga modar!". Akhirnya mereka bermastrubasi hingga biji kelamin meledug. Efka membayangkan Sunya mandi dengan bibir terbuka dan busa sabun yang meluncur di tetenya. Sunya menyepong botol kecap di dapur, membayangkannya menghisap kepala Efka hingga sajak-sajak Jacques Prévert itu muncrat jadi cairan kental yang mengering di tembok.
oleh Bardjan
D.027 Ruang Penghambaan
Amarah pahit manisnya kerinduan
Kurasakan dalam-dalam sandaran
Genggaman yang mengatakan takkan pergi
Namun tetap pergi
Berangsur-angsur membawa pelukannya
Meninggalkan yang hidup
Mematikan yang sedang berkembang
Membalut aku dengan dingin dan sepi
Kita pernah berlari
Sebelum sempat melawan kemudian menghindar
Kamu yang percaya ketiadaan
Mata yang tajam serta perih pedih
Menyeretku menuju ruang penghambaan
Kita ditakdirkan untuk mengenal
Kepergian ini tidak sempat menitipkan pesan abadi
Pikirku kita akan bicarakan tentang dewasa dan anak-anak
Menceritakan kematian yang ditunggu-tunggu
Berdasarkan kisah nyata, kita hidup saling terjaga dalam diam
Sejatinya bunga matahari yang mekar ini layu
Mataharinya tak mau menampakan sinarnya duniawi
oleh Irfan Suparman
D.028 Kapan Waktu Terbaik untuk Bunuh Diri?
Kemarin, temanku mengirim pesan padaku, bertanya tentang "Kapan waktu terbaik untuk bunuh diri?"
Bagiku yang optimis akan kehidupan, aku tidak menjawab pesan darinya.
Hari ini, sebuah kabar yang tak kuduga datang menghampiriku, orang tuaku mati dalam kecelakaan mengenaskan.
Di pemakaman, aku ingin sekali memutar waktu, memeluknya untuk terakhir kali, sekarang segala kenang datang dalam kepalaku, membuat kepalaku ingin pecah.
"Yang ikhlas, tabah, biarkan mereka tenang disana", kata temanku yang saban hari menanyakan kapan waktu terbaik untuk bunuh diri.
Dan sekarang, tepat ketika orang terakhir pulang dari tahlilan, aku masuk ke kamar, mengunci pintu kamar, dan memenggalku kepala sendiri.
oleh menyembahkucing
D.029 Tinggi
Terbangun pada jam sepuluh tepat, terdapat rasa gatal yang hebat pada pundak kiri fulan. Dengan mata yang masih terpejam, fulan menggaruk bagian depan dada kirinya dengan lembut, menjelajahi permukaan kulit keringnya. Hal ini kerap terjadi selama beberapa minggu ini, entah apa penyebabnya. Untuk memudahkan proses menggaruk, fulan mencoba melepas kausnya, namun, fulan tak bisa melakukannya. Fulan membuka matanya, dia menyadari tubuhnya mulai menyatu dengan kasur, fulan mencoba berdiri, tapi kakinya sudah menjadi kaki-kaki ranjang, panik, fulan menghempaskan tangannya, namun tangannya sudah menjadi seprei usang peninggalan neneknya. sekarang fulan telah menjadi kasur dan jutaan tungau merayap keluar dari perutnya.
oleh izra
D.030 Lantas Mana yang Kau Ingat?
Taman tempat kita berciuman menjadi tempat pembunuhan seorang bayi yang tak diinginkan ibunya, lantas mana yang kau ingat?
Jalan yang biasa kita lalui untuk bermalam Minggu, sungguh menakutkan karena di sana ada yang membuang potongan tubuh tanpa kepala, lantas mana yang kau ingat?
Kota tempat pertama kita menjalin kasih, menjadi kota yang mengerikan, bagaimana tidak, kota ini mampu menghilangkan orang yang menyuarakan pendapatnya, lantas mana yang kau ingat?
Dan negara? Kita tidak mempunyai kenangan tentang negara , bagaimana bisa negara mengatur kita bercinta atas dasar cinta, dan negara pula yang membuat kita harus bercinta di gorong-gorong bekas galian.
oleh menyembahkucing
D.031 Depan Pintu
aku hantu
kota itu
dari mana, aku tak tahu
hendak ke mana, pun tak tahu
aku bocah kumuh depan pintu tertutup itu. pintu menuju ke sana: negeri dongeng yang dikisahkan kitab suci, yang sedemikian sucinya hingga orang-orang yang merasa diri berlumur dosa akan semakin berdosa apabila menyentuhnya.
aku hantu
kota itu
tersisih pandangmu
terkubur debu waktu
aku gurat luka tak menganga, kubangan duka tanpa air mata, tubuh renta termakan usia namun tak juga binasa. sepanjang hidup setengah mati, namun tak mati-mati. sepanjang waktu hanya menunggu kapan datang jemputan pulang.
aku hantu
masih di situ
depan pintu
orang-orang berlalu...
oleh HantuKota
D.032 Rialto Towers
Di sela-sela jendela yang pecah kacanya, dari lantai empat belas ini, kulihat tubuhku yang terkulai lemas di antara mobil-mobil mewah yang terparkir, celana jeans dan jaket kumal yang kupakai masih terlihat bersih, hanya saja, sekilas sudah tampak banyak bercak kemerahan di pelipis kiri. Beberapa polisi mulai datang, security kantor cukup kewalahan menjaga ketertiban orang-orang sekitar yang cukup heboh berdesakan sekedar untuk mengabadikan diriku melalui gawai mereka masing-masing. Kasihan juga sebenarnya, jadi tidak bisa lagi melihat dirinya menangis sendirian di kamar, mendengarkan dan berbincang tentang glorifikasi finansial bersama para kolega dan atasan, ataupun melihat foto gadis di dalam dompetnya.
oleh asabinasa
D.033 Membayangkan Kehancuran
Membayangkan sepuluh tahun dari sekarang, Corona masih ada, populasi manusia tinggal seperempatnya.
Semua hancur, tak ada yang tersisa, gedung rata dengan tanah, hutan yang gundul karena habis dijarah, lautan biru menjadi merah, bercampur darah mayat yang tak bisa dikubur karena sudah tak ada lahan, rumah kita hanyalah gorong-gorong atau reruntuhan bangunan.
Sudah tak ada lagi negara, ideologi, atau apapun omong kosong, semua memikirkan diri sendiri, bagaimana bisa bertahan hidup.
Dan pada akhirnya sampai juga pada momen tak ada lagi yang bisa dimakan selain daging manusia, dan pada saat itu pula semua tinggal menunggu waktu, untuk membunuh atau dibunuh.
oleh menyembahkucing
D.034 I swear i'm not doing it on purpose
Tidak semestinya harus seperti/aku bukan/aku tidak ingin/sebenarnya tidak terasa seperti/aku meminta maaf/skizofrenia tidak seluruhnya aduh dan seram dan mimpi buruk setiap saat kamu sudah ditarik lagi dan lagi sekarang kamu adalah seekor tikus lucu dalam rumah lucu kamu adalah selongsong kosong yang sayangnya dapat berjalan kata-kata tidak harus berhenti dan mengalami stasis tubuhmu sedang membangkai di suatu tempat jam 1 pagi terlalu dekat dengan dan jam 4 pagi jam 3 pagi terlalu dekat dengan jam 4 pagi di internet haha hihi terus aku juga pengen loncat/baru balik dari ketidaknyamanan, santuy sih
oleh denounce your hometown renounce yourself
D.035 Kiamat Kecil di Matamu
Kiamat bisa jadi besok, bisa juga kemarin. Bisa jadi kitab itu mendongengi kita selama ini: kiamat tak pernah ada, melainkan "to live is to suffer". Iya, kan, sayang? Jika bukan lelucon, pasti derita. Kiamat setiap hari anteng nemplok di matamu. Aku nggak kuat lagi, akhirilah sekarang, teriakmu tadi malam. Revolusi cuma mimpi basah mahasiswa kampus semester tengah. Perang melawan kapitalisma, apa lagi itu, sayang? Mengacung-acungkan jari telunjuk ke neraka bersama ratusan kamerad lainnya? Kamu bahkan belum makan siang, warteg langgananmu tutup selamanya. Bersandarlah pada pundakku atau ngopi bareng di teras sambil melihat setan-setan penguasa ngentot satu sama lain.
oleh Bardjan
D.036 Indomaret Terakhir di Desa Kami
Malam itu menjadi malam yang menghangatkan bagi kami para warga desa, karena pada hari Rabu pukul 23.00, indomaret pertama yang ada di desa kami terbakar. Tidak ada yang tahu siapa orang yang secara tiba-tiba membakar indomaret tersebut. Tidak ada yang tahu dan tidak ada yang ingin tahu, di dinginnya malam, di derasnya salju yang turun, siapa yang peduli? Para warga keluar dari rumahnya dan mengerubungi indomaret tersebut. Malam itu menjadi malam yang hangat bagi kami, para warga desa.
"Besok," kata temanku saat kami sedang tinggi-tingginya, "Ada apa dengan besok?," tanyaku. "Desa ini sudah mati, mari kita nyalakan kembali".
oleh pemburu-peramu
D.037 Seperti Ini Bunyi Derit Kursi Kayuku yang Begitu Usang
diancam tebas mati terbungkam tiada pembela dibentak, "relokasi atau dislokasi!" terompah kena kepala delikat aparat bersikukuh tak mau kiri tembakan mendengung gendang memecah desir darah mengucur tergoyah sebarang pun tidak dihampiri algojo pengayom warga lokal disodomi habis oleh paham dan pikiran tanpa peduli hak dan kewajiban dulu tidak seperti ini temui dia yang berbaju menteri berlaku mantri duduk manis mengatur televisi dapat apa lagi kamu selain rasa keringat sela-sela pantat para pejabat keparat? bangsat! takkut tapi tak ingin lari lagi, diam di tempat! terjamin malapetaka seribu hari pun dengan labia merekah merah pun aku tetap ber-
oleh DANDY
D.038 meraba warna-warna kota
Entah bagaimana, kota telah menjelma warna-warna yang tak kita pahami. Atau memang kita telah menyaksikan terlalu banyak sehingga semua terlihat sama? Maka aku putuskan bahwa warna tak lagi menjadi persoalan dan menganggap penamaan tak ubahnya kelakar, selalu berubah-ubah tergantung bagaimana hari kita berjalan. Kau mengamininya dengan menambahkan bahwa semua warna pada akhirnya hanya akan berakhir pada persoalan gelap atau terang karena begitulah dinding mata mencernanya, karena begitulah hati manusia sebenarnya, karena begitulah orang-orang menilai orang lain. Apakah kita terlalu putus asa ataukah kita hanya ingin menyederhanakannya? Aku tak peduli selama aku masih bisa mengenalimu sebagai perak paling terang.
oleh Rye
D.039 Interogasi
Di bawah lampu kamar kucoba runtuhkan badannya dengan makian dan umpatan. Kutanyakan siapakah tuannya; dia hanya berdiri, diam, dengan ekspresi penuh amarah. Kupukul badannya; satu pukulan, dua pukulan, dia tetap diam. Namun, darah mulai mengucur keluar, membasahi tanganku. Aku terus menerus meneriakinya, kenapa dia bisa ada disini? Apa yang ingin dia capai? Tapi dia tidak menjawab, hanya menggerus-geruskan giginya sambil mentapku dengan penuh amarah. Kembali kuhantam badannya, berulang kali sampai darahnya membasahi kedua tanganku. Di pukulan selanjutnya, perutnya meledak. Puas. Kutelusuri lubang ledakan, kutemukan serpihan tubuhnya, tajam dan tak beraturan. Kutatap matanya. "Siapa sebenarnya dirimu? Kenapa kau disini?"
oleh izra
D.040 Matinya Kafka
Antara rembulan dan wajahnya, selayang film tua terpotong sorot matanya, nanar. “Jam berapa sekarang? Aku tak tahu,” ucapnya pada dirinya sendiri. Kereta terlambat datang. Seorang teman telah tiba. Akhir yang mengecewakan.
Dalam dadanya helaan napas gelisah. Sedetik udara melukiskan lamunannya. Mungkin suara bising kota, kata-kata yang membelah lembah aspal dan beton. Tak pernah semegah gunung, tetapi terus terlantun tanpa henti sepanjang tahun.
Bayang palang pintu perlintasan kereta. Menguntitnya, jam dinding berdetak pada gua prasejarah. Sebagaimana ia mengecup janji-janjinya, atau menghindari sentuhan gaun yang dikenakannya. Mausoleum label harga, nubuat atas takdir, “Mungkin mereka telah mengakhiri hidup dengan sebilah kenangan.”
oleh helen
D.041 Kapal Berapi
Segala sesuatu yang pernah diungkap dan dituliskan umat manusia telah tersaring menjadi beberapa buah lelucon. Setiap derita tak ada artinya bilamana orang-orang tak bisa menerjemahkannya sebagai sebuah narasi—bahasa memang tak mengungkap apa pun, tetapi lebih baik dibanding tak ada pilihan sama sekali. Pemikiran kritis dan cemerlang berawal dari guyonan di warung kopi, umpatan tak senonoh, segala bentuk pepatah dan peribahasa yang menafikan kemanusiaan demi generalisasi. Cara terbaik mengungkap sebuah terbaik adalah melalui humor, jangan meremehkan segala sesuatu yang superfisial, semua orang menghabiskan seluruh waktunya untuk menemukan ekspresi mereka sendiri—penggambaran naratif untuk mendukung konteks yang mereka kehendaki.
oleh tokinosōretsu
D.042 Cermin
Pengetahuan dimulai dengan duka, seseorang harus duduk selama mungkin di hadapan cermin untuk memahami kegembiraanya sebagai sesuatu yang harus ditangisi atau bahkan sebagai hal berbahaya yang dapat mengancurkannya kelak. Tak ada ide yang seketika datang begitu saja, tak ada diskontinuitas, tetapi erosi lambat di mana ia akan menyadari perubahan bayang-bayangnya di permukaan cermin, nestapa yang mengikis keberadaannya sendiri sampai akhirnya tak terlihat apa pun lagi. di depan cermin, kini ia telah menjadi permukaan reflektif yang bisa memantulkan apa pun, termodinamis dan bukan skeptis, tak ada gagasan yang bisa mempengaruhinya dan tak ada gagasan yang bisa ia pertahankan pula.
oleh tokinosōretsu
D.043 Koloni
Segala bentuk metamorfosis dapat diperkuat sekaligus dipercepat dalam lubang hitam negativitas imanen; peristiwa apa pun itu, entah singularitas maupun proses yang mengarah pada eskalasi entropi menuju apotheosis yang membeberkan keniscayaan kekosongan tanpa makna. Sebuah ontologi nirorientasi yang dapat menjadi alternatif dekonstruksi, sebuah metode spekulatif untuk menghadapi keterasingan antara diri dan dunianya. Sebuah simulasi kematian ego, nil atas nihilisme, dan penghancuran diri lewat negativa. Betapa pun sementara, langkah penghapusan seluruh simbolitas dalam cermin ini akan dapat mengungkap rangkaian pendulum penghancuran menuju augmentasi realitas secara lebih gamblang, menjadi sebuah panggung bagi permainan baru, eksperimen psikogenik serta eksplorasi yang lebih mendalam.
oleh tokinosōretsu