Aku menggumpal bagai badai yang hinggap pada pucuk teratai, semai aku di nadimu, lunglai aku bagai pinggulmu yang gemulai kala kita memulai sinai di ranjang tualai.
Doa mendongak syahdu, meretak langit. badai maha akbar penuh kabut, kita tetap menantang maut. aku berpasrah padamu, api yang penuh nestapa, semugia lekas, tenang dalam nafas, kita enggan naas. Aku bersimpuh pada pancaroba yang terbakar, pada hingar bingar kota yang penuh kelakar, pada buah dadamu yang seranum mawar. Aku merindu laut yang mencium rahim ombak, dan kitalah bajak lautnya. Aku merindu dekap terbaikmu juga kecupmu yang begitu dahsyat nan maha akbar, mika!
mereka bukan manusia lagi. kalaupun masih ada kemanusiaan yang tersisa dalam diri mereka, mereka pasti akan mengemis kematian untuk segala dosa-dosa mereka. pada pelurumu, pada banjir besarmu, mereka akan menemukan kembali kemanusiaan tepat di mana kesemuanya menghilang selamanya. danau dan sungai terlahir kembali, rekahan tanah mulut bumi, menjadi saksi atas paru-paru mereka yang dipenuhi serat plastik dan limbah kimia, dengan air asin, menggelegak mengalir menuju mulut busuk mereka