hampirlah menuju rengkuhanku, Sayang
padaku surut sulut suluh amarahmu.
agar jadi milikku selepasnya:
hantarkan genggam telapakmu atasku.
beranjaklah, menari denganku,
selam-tenggelam masuk ke dalam.
dengan ritma kataklismik kita berselimut
dialun buai simfoni kekacauan.
gurat kata-kata pedihmu kupersilakan:
namun telanjur kugigit lidahmu berdarah.
maka lukai aku, raih belati, ukir punggungku
nyalakan paru-paruku terbakar menjadi abu.
hingga berdua kita tersengal berebut udara segar
hingga berakhir kita terjatuh melantai penuh peluh
sebab lenyap tak bersisa kuanugerahkan darah dan air mata,
harga yang harus kubayar agar tetap hidup digagahi sengsara dunia—
—sialnya terasing sadarku di tepian pembaringan,
melantunkan irama bersambut; pandu kematian.
merangkak keluar dari seribu samudera lesu, menatap mahkota hitam gunung berapi. berdenyut di bawah lumut, mengalir melalui selokan di kota-kota memberi makan cekung kedengkian. berbaring di atas rawa-rawa hijau, mengambang di tepian danau gelap. saksikanlah bagaimana setiap garis adalah cakrawala dan meluaslah dengan menghirup jagat raya melalui pusarmu